Kalimantan Timur, provinsi yang selama ini ditopang dari hasil kekayaan alam salah satunya batu bara, kini menghadapi agenda besar transisi energi. Pemerintah pusat mendorong daerah untuk mengejawantahkan tantangan energi baru terbarukan (EBT) dan ekonomi hijau. Namun, di balik deretan target dan janji pembangunan berkelanjutan, muncul pertanyaan besar: apakah Kaltim benar-benar siap meninggalkan energi fosil? dan bagaimana nasib lebih dari 160 ribu pekerja ketika produksi batu bara mulai dikurangi?
Sektor pertambangan di provinsi ini menyumbang 35,34 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per triwulan I 2025. Ekspor batu bara bahkan mendominasi 70 persen dari total ekspor daerah. Data ini menunjukkan betapa dalamnya ketergantungan ekonomi Kaltim terhadap sumber energi fosil.
Memotret laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) bertajuk Transisi Energi di Tengah Kepungan Tambang Batubara menyebut, ketergantungan semacam ini membuat daerah penghasil seperti Kaltim berada dalam posisi rapuh ketika harga global batu bara menurun. Lebih dari sepertiga ekonomi Kaltim masih ditopang sektor tambang, sementara lebih dari setengah pendapatan daerah bersumber dari energi fosil.
Dari sisi penerimaan negara, Kaltim juga menghadapi ketimpangan fiskal. Dari total royalti batu bara nasional sebesar Rp103,36 triliun, Kaltim menyumbang Rp34,55 triliun, namun hanya menerima sekitar Rp8,56 triliun atau kurang dari 25 persennya. Padahal dampak ekologis dan sosial akibat aktivitas tambang sebagian besar ditanggung oleh daerah penghasil.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, Bambang Arwanto, mengakui bahwa ketergantungan ini tidak bisa dipertahankan selamanya. “Sekitar 60 persen pendapatan daerah masih berasal dari hasil energi fosil. Jadi perlu dipersiapkan langkah-langkah agar tak berdampak ke stabilitas ekonomi di daerah,” ujarnya.
Gelombang Sunyi Transisi Energi: Pekerja Tambang Bagaimana?
Pagi belum sepenuhnya terang ketika Leri—bukan nama sebenarnya—29 tahun, bersiap menuju lokasi tambang di Kaliorang, Kutai Timur. Sejak pukul empat subuh ia sudah bangun, bersiap untuk pergantian shift pukul enam. “Kalau bisa tidur, tidur itu emas,” ujarnya pelan, mengenang rutinitas kerja dua belas jam di lapangan yang penuh debu dan tekanan.
Leri bekerja sebagai helper fueling di salah satu perusahaan tambang besar di Kaliorang. Ia memastikan fuel truck selalu siap memasok solar untuk alat berat: dump truck, dozer, dan excavator. “Kalau atasan maunya hari ini bongkar 400 ton, ya harus 400 ton. Padahal di lapangan cuaca nggak tentu, kadang hujan, jalan licin, tapi target tetap harus jalan,” katanya.
Tekanan kerja di sektor ini tinggi. Ia mengisahkan bagaimana dirinya dan belasan rekan sempat diinterogasi karena dugaan solar tercampur air, peristiwa yang disebut menyebabkan kerugian miliaran rupiah. Dari 15 pekerja yang diperiksa, hanya ia yang dipecat. “Saya cari bukti CCTV, tapi katanya mati. Padahal kejadian bukan di shift saya. Tapi ya, atasan butuh kambing hitam,” kisahnya.
Kini ia hidup tanpa pekerjaan tetap, mengandalkan kabar dari teman untuk mencari lowongan baru. Biaya medical check-up pelamar mencapai dua juta rupiah, terlalu berat untuk dirinya yang baru saja kehilangan pekerjaan. “Katanya ini keputusan manajer,” ucapnya singkat.
Leri mengaku dulu sempat kuliah jurusan teknik mesin di Makassar, tapi tak selesai. Ia masuk dunia tambang bukan karena pilihan, melainkan karena dorongan keluarga dan sempitnya peluang kerja di luar sektor batu bara. “Kalau ditanya sesuai atau tidak, ya nggak sesuai. Tapi kita kerja kan cari uang,” katanya.
Dalam dua tahun terakhir, isu pengurangan produksi batu bara nasional mulai terasa dampaknya di Kalimantan Timur. Beberapa kontraktor melakukan efisiensi, sebagian lainnya mengurangi tenaga kerja. Namun, program pelatihan ulang (reskilling) bagi pekerja tambang—yang dijanjikan dalam kerangka transisi energi—belum juga terasa di tingkat pekerja lapangan seperti Leri. “Yang ada cuma pelatihan buat anak baru. Kita yang lama nggak pernah dikasih kesempatan,” ujarnya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim, Rozani Erwadi, membenarkan bahwa hingga kini belum ada program konkret untuk menyiapkan pekerja tambang menghadapi era energi bersih. Berdasarkan data Sakernas Agustus 2024, jumlah pekerja di sektor pertambangan dan penggalian di Kaltim mencapai lebih dari 160 ribu orang.
“Potensi PHK tergantung pada berapa pengurangan jumlah eksploitasi sektor tersebut. Pekerja yang terkena dampak harus disiapkan jabatan baru atau dilakukan reskilling jika berpindah ke sektor lain. Namun sampai saat ini belum ada kegiatan dimaksud,” ujarnya. “Sekiranya ada peta jalan kebijakan transisi energi, tentu semua tingkatan pemerintahan akan melaksanakannya dengan dukungan penuh dari perusahaan terdampak.

Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S. Cahyono, menilai kondisi yang dialami Leri hanyalah potret kecil dari ketidaksiapan negara menghadapi arus besar transisi energi.
“Transisi energi memang keniscayaan. Tapi persoalannya, siapa yang menanggung beban sosial dan ekonomi dari peralihan ini?” ujarnya.
Menurut Kahar, Kalimantan Timur menjadi daerah paling rentan karena struktur ekonominya bertumpu pada batu bara. Ia mengingatkan, sejarah telah memberi pelajaran: ketika era kayu dan migas berakhir, ribuan pekerja terlempar dari sistem tanpa jaring pengaman. “Kalau energi fosil berhenti, bukan cuma pekerja tambang yang kena, tapi juga pekerja informal di sekitarnya,” jelasnya.
KSPI mencatat sedikitnya 3.000 anggota di sektor batu bara dan 1.000 di PLTU berisiko terdampak langsung, belum termasuk pekerja otomotif yang menghadapi peralihan menuju kendaraan listrik. Namun, menurut Kahar, hingga kini belum ada peta jalan transisi yang menyiapkan pekerjaan pengganti maupun skema peningkatan keterampilan bagi pekerja lama.
“Belum ada rencana ekonomi baru yang bisa menggantikan batu bara di Kaltim. Belum ada juga pelatihan keterampilan yang relevan. Bahkan mekanisme jaminan sosial pun tidak siap,” katanya.
Sebagian besar buruh tambang, lanjut Kahar, berstatus outsourcing atau kontrak harian, sehingga tidak tercakup dalam Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). “Artinya, kalau mereka di-PHK karena transisi energi, mereka kehilangan pendapatan tanpa jaminan sosial apa pun,” tegasnya.
Di tingkat nasional, KSPI tengah mendorong agar perlindungan pekerja terdampak transisi energi dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Langkah ini dinilai penting untuk menjamin keadilan bagi mereka yang kehilangan pekerjaan bukan karena kesalahan pribadi, melainkan karena kebijakan negara.
“Mereka kehilangan pekerjaan bukan karena malas, tapi karena negara memutuskan mengurangi energi fosil demi menyelamatkan bumi. Jadi, negara juga wajib bertanggung jawab. Minimal ada jaminan sosial, bahkan kalau perlu jaminan kesehatan seumur hidup bagi mereka yang dikorbankan demi transisi energi,” ujar Kahar.
Bagi KSPI, keadilan transisi energi bukan sekadar jargon global, tapi soal moral dan kemanusiaan. “Transisi energi boleh terjadi, tapi penghormatan terhadap pekerja tidak boleh ikut ditransisikan,” pungkasnya.
Janji Energi Bersih: Jauh Sate dari Panggang
Dalam forum International Sustainable Week (ISEW) 2025 di Universitas Mulawarman, Kepala Bidang Perekonomian dan Sumber Daya Alam Bappeda Kaltim, Wahyu Gatut Purboyo, menyampaikan bahwa Kalimantan Timur menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 79 persen pada 2045, naik tajam dari capaian 12,14 persen pada 2024.
“Percepatan transisi energi bukan pilihan, tapi keharusan untuk menjaga komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris,” ujarnya mengutip keterangan resmi.
Ia menjelaskan, sejumlah langkah awal telah dilakukan. Pemerintah daerah mulai mengembangkan potensi biodiesel, biomassa, serta pembangkit listrik tenaga surya dan air. Namun, di balik deretan rencana itu, Wahyu mengakui tantangannya tidak kecil. “Kebutuhan investasi besar, harga energi terbarukan belum kompetitif, dan insentif bagi produsen maupun pengguna EBT masih belum optimal,” katanya.
Wahyu menambahkan, keberhasilan transisi energi juga bergantung pada kesiapan manusia di dalamnya. Bersama Bappenas, Pemprov Kaltim tengah mendorong terbentuknya green jobs melalui proyek GESIT (Green Economy and Skills Transformation Initiative) untuk melatih tenaga kerja agar siap masuk ke sektor hijau seperti energi terbarukan, pertanian organik, dan bisnis ramah lingkungan.
“Potensi anak muda harus dikembangkan secara optimal agar menjadi game changer menuju ekonomi hijau,” ujarnya. Namun sejauh ini, pelatihan dan reskilling bagi pekerja tambang dan PLTU masih sebatas wacana di atas kertas.
Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi, menilai transisi energi di Kaltim masih “jauh sate dari panggang”. Menurutnya, jargon energi hijau belum menyentuh akar persoalan utama yakni ketergantungan struktural terhadap batu bara dan lemahnya keberpihakan pada masyarakat terdampak.
“Selama ini kita hanya melihat batu bara dari sisi devisa dan PDRB. Padahal di balik angka itu, ada ongkos sosial dan ekologis yang luar biasa besar, banjir, udara kotor, rusaknya ekosistem, hingga penyakit pernapasan,” ujarnya.
Purwadi menyebut pemerintah belum pernah menghitung nilai kerugian akibat bencana ekologis yang dipicu aktivitas tambang. “Setiap banjir besar di Samarinda atau Kutai, ribuan rumah terendam, kendaraan rusak, anak-anak tidak sekolah. Tapi kerugian itu tidak pernah masuk dalam neraca ekonomi,” katanya.
Menurutnya, tanpa perhitungan biaya sosial-ekologis dan keberanian menghentikan ketergantungan terhadap batu bara, transisi energi hanya akan jadi simbol politik. “Negara sibuk bicara ekonomi hijau, tapi izin tambang baru justru terus keluar. Itu bukan transisi, tapi kelanjutan ekonomi kotor dengan bungkus baru,” tegas Purwadi.
Dana yang Tak Kembali
Transisi energi juga menyangkut bagaimana keuntungan dari eksploitasi fosil digunakan untuk masa depan daerah. Kalimantan Timur selama ini menjadi penyumbang besar penerimaan negara, namun belum memperoleh proporsi yang sebanding. Transfer ke daerah dan dana bagi hasil (DBH) tahun 2024 tercatat Rp41,93 triliun, tetapi sebagian besar masih bergantung pada sektor tambang yang fluktuatif.
Namun, arah kebijakan fiskal nasional menunjukkan tren penurunan. Dana transfer dari pusat pada APBN 2024 secara nasional mencapai sekitar Rp919 triliun, dan kini tersisa hanya Rp650 triliun. Untuk Kaltim sendiri, DBH yang sebelumnya sekitar Rp6 triliun diperkirakan turun drastis menjadi hanya Rp1,4 triliun pada periode 2025–2026. Di tingkat kabupaten, seperti Kutai Kartanegara, DBH yang tadinya Rp5,7 triliun kini tersisa di kisaran Rp1,3–1,4 triliun. Penurunan ini diperkirakan mengurangi ruang fiskal daerah hingga Rp4,5–5 triliun dibanding tahun sebelumnya.
Dalam sorotan IESR, di tengah kepungan tambang batu bara, masyarakat lokal sering kali hanya menjadi penonton, sementara hasil tambang mengalir ke pusat dan perusahaan. Fenomena paradoks daerah kaya tambang namun ber-APBD kecil terasa nyata di Kutai Timur dan Kutai Kartanegara. Di Kutai Timur, misalnya, ekspor batu bara mencapai lebih dari Rp80 triliun, sedangkan APBD daerah hanya sekitar Rp9 triliun. Dana sebesar itu seharusnya dapat dialihkan sebagian untuk mendanai transformasi ekonomi, mulai dari pendidikan vokasi, inkubasi usaha hijau, hingga pelatihan tenaga kerja terdampak.

Wakil Ketua Komisi III DPRD Kaltim, Akhmed Reza Fachlevi, menilai formula pembagian DBH saat ini belum mencerminkan keadilan fiskal bagi daerah penghasil sumber daya alam. “Kontribusi Kaltim terhadap penerimaan nasional sangat besar, tapi yang kembali ke daerah masih jauh dari ideal. Tahun 2024, alokasi DBH kita sekitar Rp6,8 triliun, sementara kontribusi dari sektor tambang mencapai Rp18,5 triliun,” ujarnya.
Reza menegaskan, formula DBH yang ada perlu ditinjau ulang karena belum mempertimbangkan beban sosial dan lingkungan yang ditanggung daerah penghasil energi fosil. Menurutnya, perlu ada earmarking atau alokasi khusus dari DBH migas dan batubara untuk mendukung transisi energi. Dana itu bisa digunakan untuk riset energi baru terbarukan, pengembangan tenaga surya, hingga pelatihan tenaga kerja hijau.
“Kalau tidak disiapkan dari sekarang, Kaltim akan menghadapi kesenjangan besar ketika permintaan batubara menurun dan pendapatan daerah ikut turun,” katanya. Reza menyebut alokasi bertahap bisa menjadi langkah realistis, misalnya lima persen dari DBH sektor energi diarahkan untuk proyek energi bersih.
Ia juga mendorong kombinasi pendanaan melalui APBD dan BUMD energi daerah agar lebih fleksibel dan transparan. “Setiap rupiah dari sumber daya fosil seharusnya dikembalikan untuk membiayai masa depan energi bersih Kaltim. Itu bentuk tanggung jawab moral dan strategis kita,” tuturnya.
Keadilan Energi Hanya Diksi
Kaltim memiliki modal besar untuk memulai transisi energi di Indonesia, potensi EBT yang melimpah, posisi strategis di Ibu Kota Nusantara, dan dukungan kebijakan nasional menuju net zero emission 2060. Namun di lapangan, kenyataan masih jauh dari ideal. Mustari Sihombing, DInamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim menilai, wacana transisi energi di Indonesia, termasuk di Kaltim, tak ubahnya hanya diksi politik.
“Kalau dilihat dari sisi kebijakan, sebenarnya tidak ada upaya nyata untuk melakukan phase-out industri fosil. Produksi batu bara justru terus meningkat, bahkan untuk memasok smelter dan kawasan industri yang disebut hijau di Kalimantan Utara masih memakai batu bara,” ujar pria yang akrab disapa Judika.
“Jadi, bagi kami ini bukan transisi energi, melainkan akumulasi pembongkaran baru,” tambahnya.
Ia menyebut, hingga kini tidak ada tanda bahwa pemerintah serius mengurangi ketergantungan terhadap energi kotor. Bahkan, sebagian kawasan industri hijau di Kalimantan masih mengandalkan pasokan listrik dari PLTU batu bara. Menurutnya, kondisi itu memperlihatkan bahwa narasi transisi energi lebih banyak digunakan sebagai legitimasi proyek baru ketimbang sebagai kebijakan perubahan sistemik.
Judika juga mengingatkan bahwa masyarakat di lingkar tambang menjadi pihak paling dirugikan dari situasi ini. Ia mencontohkan wilayah Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga, Kutai Kartanegara, yang dulu dikenal sebagai sentra pertanian dan buah-buahan, kini berubah menjadi kawasan terdampak aktivitas tambang.
“Sumber air yang sudah digunakan ratusan tahun hilang. Warga yang dulu petani buah, kini harus membeli air setiap bulan. Hubungan sosial antarwarga pun retak. Banyak warga mengalami gangguan pernapasan dan kehilangan sumber ekonomi mereka,” jelasnya.

Dari hasil pemantauan JATAM, sebagian besar masyarakat lingkar tambang kini menjadi korban yang kehilangan tanah, sumber air, dan ruang hidup. “Yang disebut transisi energi itu seharusnya mengurangi daya rusak industri fosil. Namun di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya, peningkatan aktivitas tambang dan pembukaan izin baru,” tandasnya.
JATAM mencatat, dari sekitar 1.404 izin usaha pertambangan (IUP) yang pernah tercatat di Kaltim, masih ada sekitar 600 izin yang aktif beroperasi hingga 2024, meski sebagian wilayah tambang telah meninggalkan lubang bekas galian yang belum direklamasi. Judika menyebut timnya masih memperbarui data untuk tahun 2025.
Menurutnya, pemerintah seharusnya membuka ruang partisipasi masyarakat dalam menentukan arah energi daerah. Selama ini, kata Judika, masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam memilih sumber energi. Semua keputusan datang dari atas. Padahal, tiap daerah punya potensi sendiri, ada sungai, ada matahari, ada angin.
“Kalau negara mau serius, hitung dulu kebutuhan energi rakyat, bukan kebutuhan industri,” pungkasnya.
Setali tiga uang, Purwadi mengingatkan bahwa kebijakan yang menunda peralihan menuju energi bersih akan menimbulkan beban yang semakin berat di masa depan. Kerusakan lingkungan, banjir, dan persoalan kesehatan yang timbul akibat polusi maupun tambang yang tak direklamasi, katanya, sudah menjadi biaya tersembunyi yang selama ini diabaikan dalam hitungan ekonomi.
Ia menegaskan, semakin lama pemerintah menunda persiapan transisi energi, semakin besar pula beban ekologis dan sosial yang harus ditanggung masyarakat. “Kalau transisi energi tidak disiapkan dari sekarang, kita akan membayar lebih maha bukan cuma dengan uang, tapi dengan napas dan kesehatan generasi kita,” tegasnya.