Mahakam Daily — Kekhawatiran soal banjir di Loa Janan sering datang mendahului hujan itu sendiri. Ketika langit mulai menghitam, warga di sekitar tempat tinggal saya menyiapkan langkah-langkah kecil: menaruh motor di tempat lebih tinggi, menggantung barang yang riskan basah, sampai memeriksa apakah anak-anak perlu diungsikan. Rumah saya memang tak pernah tergenang. Namun bukan berarti saya tak ikut merasakan dampaknya.
Saya melihat bagaimana tetangga saya yang hidup pas-pasan tetap harus bekerja meski banjir setinggi paha. Saya pernah melihat anak-anak dan lansia tertahan air karena akses terputus. Namun momen paling membekas bagi saya adalah banjir besar di kawasan jalan Barito pada Mei lalu. Kebetulan saat itu saya berada di lokasi. Gelap malam, dingin yang menusuk, listrik padam, dan suara minta tolong yang datang dari berbagai arah membuat situasi benar-benar mencekam. Ada lansia yang meninggal setelah semalaman kedinginan tanpa makanan. Sejak kejadian itu, saya tahu bahwa banjir bukan sekadar air naik, tapi rangkaian masalah yang menjerat kehidupan warga.
Belakangan, saya semakin cemas melihat banjir di depan Kampus II UINSI Samarinda, tepat di Jalan H.M. Rifaddin. Dua kali dalam dua bulan terakhir, air menggenang cukup dalam—padahal drainase kampus itu lebar. Masalahnya, bukan hanya soal saluran. Di simpang lampu merah UINSI menuju rumah sakit, bukit terus dikeruk. Lahan dibuka besar-besaran. Setiap kali saya lewat, saya melihat gunung yang pelan-pelan dihabisi.
“Kelihatan sekali pengerukannya. Banyak sekali,” begitu saya sering bilang kepada teman dan warga lain.
Saya tidak menutup mata terhadap upaya pemerintah membuat drainase baru. Itu langkah baik. Tapi bagi saya, beton saja tidak akan cukup tanpa Ruang Terbuka Hijau (RTH), tanpa lahan yang bisa menyerap air.
“Alhamdulillah ada upaya. Tapi RTH tetap penting,” begitu saya menegaskan kepada siapa pun yang bertanya kenapa saya begitu cerewet soal banjir.
Saya juga menduga air dari dataran tinggi UINSI mengalir ke arah Barito—wilayah yang beberapa kali tergenang parah. Mei lalu saja, air mencapai dada orang dewasa.
“Barito itu bahaya. Kita harus belajar dari itu,” tutup saya setiap kali membahas banjir dengan warga sekitar.
Jejak Banjir yang Tak Pernah Lepas dari Samarinda dan Loa Janan
Meminjam laporan Antara News berjudul “Banjir 2019, 56.123 Warga Samarinda Terdampak”, kasus banjir besar pada tahun tersebut merendam 15 kelurahan di 5 kecamatan dan memengaruhi lebih dari 56 ribu warga. Dalam laporan lain, “Korban Banjir di Samarinda Mencapai 30.580 Jiwa”, tiga kecamatan—Samarinda Utara, Sungai Pinang, dan Samarinda Ulu—terdampak cukup parah.
Pada 2020, sebagaimana tercatat dalam laporan Antara berjudul “30.894 Warga Samarinda Terdampak Banjir”, genangan kembali meluas dan mencapai hampir 31 ribu warga.
Di Loa Janan Ilir, banjir bukan lagi kabar musiman, tetapi pola tahunan. Laporan Antara, “2.980 Jiwa Warga Samarinda Terdampak Banjir” (27 Januari 2025), mencatat bahwa wilayah ini termasuk yang terdampak cukup signifikan—2.980 warga. Pada Mei 2025, tinggi air di Loa Janan Ilir mencapai 30–150 cm, merendam 18 RT. Dokumen Bappeda Samarinda juga menandai Loa Janan Ilir sebagai zona risiko tinggi, mempertegas bahwa kawasan ini menyimpan ancaman berulang dari hulu hingga hilir sistem drainasenya.
Suara Akademisi dan WALHI tentang Masa Depan Risiko Banjir Samarinda
Kajian akademis memberikan gambaran tentang risiko banjir di masa mendatang. Penelitian dari Universitas Mulawarman berjudul “Analisis Dampak Perubahan Iklim terhadap Kerentanan Sosial Masyarakat di Kota Samarinda” oleh Safaranita Nur Effendi dkk. menunjukkan bahwa intensitas hujan diprediksi meningkat akibat perubahan iklim. Ketidakmampuan lahan menyerap air akibat minimnya Ruang Terbuka Hijau memperbesar risiko banjir terutama bagi kelompok rentan.
Studi lain, “Kajian Genangan Banjir di Desa East Sempaja: Hubungan Drainase dan Tata Ruang” (ejournal.undip.ac.id), menunjukkan bahwa hilangnya vegetasi dan buruknya pengelolaan drainase mempercepat munculnya genangan. Kajian ini menyoroti bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan tata ruang ekologis akan memperkuat potensi banjir di masa depan.
Dari organisasi lingkungan, WALHI Kaltim memberikan analisis berbasis lapangan. Aktivis lingkungan Hafidz Prasetyo dalam artikel “Pikir Sama-Sama Mengatasi Banjir di Samarinda” (IDN Times) menegaskan bahwa alih fungsi rawa dan pengerukan besar-besaran menjadi penyebab utama meningkatnya debit air. Sementara Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif WALHI Kaltim, dalam artikel “Kajian Politik Lingkungan di Kaltim” (IDN Times), menyoroti bahwa banjir di Samarinda bukan hanya persoalan hujan, tetapi dampak dari keputusan tata ruang yang tidak berpihak pada lingkungan.
Upaya Pemerintah Mengatasi Banjir Samarinda dan Loa Janan
Dalam laporan Detik berjudul “Upaya Pemkot Samarinda Atasi Banjir Dimulai dari Normalisasi Sungai” (Agustus 2025), pemerintah membongkar 93 bangunan di bantaran Sungai Karang Mumus, melakukan pengerukan sungai, serta membangun turap di sejumlah titik. Perbaikan drainase di beberapa kawasan padat juga dilakukan, seperti tercatat pada laporan Kaltim Post, “Pemkot Samarinda Bangun Drainase Rp 4,7 Miliar di Jalan Perniagaan untuk Atasi Banjir Pasar Segiri” (September 2025).
Untuk Loa Janan Ilir, upaya diarahkan ke sumber masalah lokal. Artikel Nomorsatu Kaltim, “Wali Kota Samarinda Ungkap 3 Sumber Banjir di Perumahan H. Saleh, Sodetan Siap Dibangun Tahun Ini” (Juni 2025), menyebut bahwa aliran dari Sungai Loa Lah, Loa Hui, dan saluran Barito akan diurai melalui sodetan baru. Riset akademis dari Universitas Pahlawan, “Hubungan Pemeliharaan Drainase terhadap Penyebab Terjadinya Banjir pada Wilayah Kelurahan Simpang Tiga Loa Janan Ilir”, memperkuat bahwa pemeliharaan drainase harus menjadi prioritas.
Pemerintah juga merespons dampak alih fungsi lahan, seperti diberitakan Prokal dalam artikel “Pembukaan Lahan Masif di Samarinda Seberang, Drainase Perlu Penyesuaian” (2022). Selain itu, bantuan sosial bagi korban banjir turut disalurkan, sebagaimana dicatat dalam laporan Kaltim Today, “150 Paket Bantuan Disalurkan ke Warga Terdampak Banjir di Loa Janan” (2025).
Kerangka besar pengendalian banjir disusun dalam dokumen kaltimkece.id, “Pemkot Samarinda Siapkan Rencana Pengendalian Banjir Hingga 2035”, yang merencanakan pembangunan 286,5 km drainase, 31 kolam retensi, 54 rumah pompa, dan 679 unit penangkap lumpur sebagai mitigasi jangka panjang.