Berjarak enam belas kilometer dari Istana Presiden di Ibu Kota Nusantara (IKN), Sepaku, Penajam Paser Utara. Pohon-pohon dengan tinggi tujuh hingga sepuluh meter berbaris, rapi. Di sana lah, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) membentang, di antara tanaman industri Eukaliptus. Lebih kurang delapan puluh enam hektare lahan dimanfaatkan sebagai lokasi pembangkit energi baru terbarukan itu.
Pada Mei 2023, tahap pertama pembangunan PLTS IKN dimulai, dengan merampungkan 10 Megawatt (MW). Tahap tersebut selesai pada Februari tahun 2024, sedikitnya ada 21.600 Photovoltaic (PV) atau panel surya terpasang.
Proyek suplai setrum dari energi matahari tersebut benar-benar rampung dan diresmikan pemerintah Indonesia bersama Otorita IKN pada Januari 2025, dengan total keseluruhan panel surya yang terpasang sebanyak 114.420 atau menghasilkan daya 50 MW.
Deputi Transformasi Hijau dan Digital Otorita IKN, Prof Mohammed Ali Berawi mengatakan pemerintah menargetkan kapasitas PLTS di IKN mencapai sekitar 200 MW pada tahun 2032. Kebutuhan energi listrik tersebut untuk menyuplai fasilitas umum seperti perkantoran, rumah sakit, hunian ASN, rumah penjabat, transportasi, rumah ibadah, dan bahkan pusat olahraga.
“Selain pembangunan fisik, perencanaan dan pemodelan jangka panjang, kami memastikan transisi energi tersebut terintegrasi dan berkelanjutan,” kata Ali Berawi melalui keterangan resmi kepada Mahakamdaily.com, Senin (24/3/2025).
Kendati itu, kekurangan daya sebesar 150 MW masih ditambal dari jaringan distribusi listrik Sistem Mahakam. Sistem ini yang menghubungkan pembangkit-pembangkit (PLTU, PLTG, PLTGU, dan beberapa pembangkit diesel) di Balikpapan, Kutai Kartanegara, Samarinda, dan Bontang. Selain itu, juga terhubung ke jaringan transmisi 150kV, sehingga dapat memastikan suplai listrik yang stabil ke daerah-daerah tersebut.
Selain target 200 MW, data PLN menyebut, kebutuhan pasokan listrik IKN mencapai 1 TWh pada tahun 2034, yang rencananya bersumber dari sejumlah pembangkit, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), panas bumi (geothermal), dan gas bumi.

Teknologi Pintar
PLTS yang dibangun di IKN memilki keunikan tersendiri, salah satunya kontur lahan yang bergunung. Ali Berawi mengatakan hal itu menjadi tantangan pembangunan pembangkit tersebut. Sehingga mengharuskan desain dan teknik konstruksi yang tidak sembarangan.
“Supaya instalasi panel surya tetap efisien, aman, dan tahan terhadap perubahan lingkungan,” tandasnya.
Selain itu, infrastruktur jaringan listrik di IKN akan dilengkapi dengan teknologi jaringan pintar atau smart grid. Sistem tersebut untuk memastikan distribusi energi dari PLTS ke seluruh wilayah di IKN berlangsung stabil. Salah satu konsep dalam smart grid ialah VIrtual Power Plant (VPP) yang berfungsi mendesentralisasi sumber energi, bahkan ke pembangkit skala kecil.
Setali tiga uang, PLTS IKN diklaim satu-satunya di Indonesia yang memanfaatkan teknologi penyimpanan BESS (Battery Energy Storage System) yang terkoneksi langsung ke sistem kelistrikan umum, hal tersebut disampaikan Adrian Ova Triandi, Project Engineer PLTS IKN. Sistem penyimpanan tersebut juga sebagai mengatasi bila cuaca kurang mendukung, dan untuk menyokong pasokan energi listrik pada malam hari. Ia menyebut BESS yang telah terpasang sekira 14 MW.
“BESS dimanfaatkan sebagai penstabil daya kelistrikan, sehingga menjamin kualitas dan keandalan energi listrik yang dihasilkan,” jelas Adrian kepada Mahakamdaily.com melalui pesan Whatsapp, Senin (28/4/2025).

Bebas Emisi Karbon
PLTS IKN dielu-elukan sebagai komitmen pemerintah Indonesia mewujudkan IKN dengan prinsip kota canggih nan ramah lingkungan. Bila sudah beroperasi penuh, dengan kapasitas maksimal 50 MW, PLTS IKN mampu memproduksi listrik sekitar 93 gigawatt jam (GWh) per tahun. Kapasitas itu setara pengurangan emisi hingga 104 ribu ton karbon dioksida per tahun.
Ali Berawi menjelaskan PLTS yang merupakan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) tidak mengeluarkan emisi karbon sama sekali selama proses operasionalnya. Ia menyebut, hal ini juga sejalan dengan target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2045 sesuai Rencana Induk IKN dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 63 Tahun 2022.
“PLTS mendukung transisi energi bersih dengan menggantikan pembangkit listrik berbasis fosil secara bertahap, sehingga menciptakan sistem energi yang lebih berkelanjutan dan mendukung target NZE di IKN,” imbuhnya.
Ali Berawi mendaku, berdasarkan data monitoring PLTS IKN, pembangkit tersebut telah memproduksi sebesar 13,37 GWh. Menurutnya, bila diasumsikan 1 kilowatt (kWh) produksi setara dengan 475 gram emisi karbon (CO2), maka PLTS tersebut IKN berhasil menekan sebanyak 6,35 ribu ton emisi karbon.
“Jika diilustrasikan, pengurangan emisi ini setara dengan menanam sekitar 8,68 ribu pohon. Ini menunjukkan dampak nyata PLTS dalam mendukung pengurangan emisi karbon dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di IKN,” jelasnya.

Potensi Limbah
Panel surya sebagai perangkat yang mengubah iradiasi matahari menjadi energi disebut-sebut memiliki usia panjang. Direktur Eksekutif dan Ahli Strategi Transisi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan masa pakainya dua puluh sampai dua puluh lima tahun, bahkan bisa tiga puluh tahun.
Meski berusia panjang bukan berarti tanpa limbah, Fabby menyebut panel surya menghasilkan sejumlah limbah yang bisa dikategorikan berbahaya.
Merujuk data infografis IESR, komponen pada sebuah panel surya yang dikategorikan limbah berpotensi membahayakan lingkungan di antaranya Silikon (5%), Perak (0,06%), Timbal dan Timah (0,05%).
Sedang komponen yang dikategorikan limbah tidak berbahaya yakni, Kerangka Alumunium (8%), Kaca Pelindung (76%), Enkapsulasi (Polimer), Sel Fotovoltaik (5%), Bahan Enkapsulasi, Lembar Insulasi (back sheet) termasuk polimer (10%), dan Kotak Junction.
“Nah, paling tidak 90 persen dari PLTS itu bisa didaur ulang. Jadi bukan sesuatu yang akan jadi sampah semua,” kata Fabby Tumiwa saat dihubungi Mahakamdaily.com pada Selasa (8/2/2025).
Fabby menjelaskan selagi material, salah satunya kaca, tidak pecah atau retak, atau insulasinya tidak rusak, panel surya akan beroperasi dalam kurun waktu lama. Menurutya perusahaan produsen biasanya memberi garansi untuk pemanfaatan optimal berkisar dua puluh sampai dua puluh lima tahun.
Kendati itu, Fabby tak memungkiri seiring berjalannya waktu, akan terjadi degradation rate atau penurunan fungsi pada sel surya. Hal itu membuat proses ubahan sinar matahari menjadi energi listrik menurun. Fabby mengilustrasi, misal selama sepuluh tahun mungkin penurunan fungsi antara tiga sampai lima persen. Bila dua puluh tahun, Fabby mengira penurunan bisa menembuh sepuluh persen.
“Itu menurun efisiensinya, kemampuan konversinya lebih rendah, tetapi masih bisa menghasilkan listrik, masih bisa mengkonversi sinar matahari menjadi listrik,” terangnya.
Belum Ada Aturan Khusus Limbah Elektronik
Fabby mengaku tidak terlalu khawatir dengan limbah dari PLTS, karena masa pakai berjangka panjang, dan saat ini belum menghasilkan sampah. Namun ia menyayangkan, hingga saat ini di Indonesia belum memiliki aturan khusus mengenai limbah elektronik (e-waste).
Untuk itu, Fabby menyarankan pemerintah segera merumuskan regulasi khusus limbah elektronik. Ia juga mendorong pembangunan fasilitas daur ulangnya, termasuk skema pembiayaannya.
“Nanti akan jadi masalah mungkin 20-30 tahun lagi di Indonesia, bukan hari ini. Tapi untuk menghindari masalah, kan sudah harus disiapkan perangkat regulasinya,” sambungnya.
Melirik negara-negara yang lebih dulu memanfaatkan energi surya, seperti di Uni Eropa, dalam penerapan pengelolaan limbah panel surya mereka memiliki prinsip Extended Producer Responsibility. Sehingga produden bertanggung jawab ketiika masa pakai habis. Di negeri Sakura misalnya, Asosiasi Energi Surya Jepang (JPEA) menerbitkan panduan pembuangan limbah panel surya.
Di negara bagian Victoria panel surya masuk ke dalam daftar Peraturan Administrasi produk Nasional. Sementara di India, limbah panel surya belum diatur secara spesifik namun secara umum dapat masuk ke e-waste (Management and Handling) Rules of 2016 adanya inisiatif EPR mendorong konsumen lebih bertanggung jawab terhadap limbah yang dihasilkan.

Rencana IKN Tangani Limbah
Ali Berawi menyatakan, Otorita IKN menyadari PLTS pada siklus hidupnya juga menghasilkan limbah, terutama panel surya yang sudah tidak terpakai dan perangkat penyimpanan energinya.
Untuk itu pihaknya telah menyiapkan sejumlah strategi. Pertama, penerapan prinsip ekonomi sirkular. Panel surya lama yang masuk layak akan dimanfaatkan keembali, sementara yang tidak layak akan diarahkan untuk didaur ulang.
Kedua, Ali Berawi mengatakan pihaknya membuka kolaborasi dengan pelaku industri dan lembaga riset untuk mengembangkan teknologi pemrosesan limbah PLTS, termasuk pemulihan material bergarga seperti silikon dan aluminium, serta pengelolaan limbah baterai.
Ketiga, Otorita IKN akan menggandeng kementerian teknis terkait untuk penguatan regulasi dan standar teknis.
“Kami mendukung penyusunan standar nasional terkait penanganan limbah PLTS, termasuk aspek keselamatan, lingkungan, dan tata kelola. Agar memastikan daur ulang maupun pembuangan limbah dilakukan dengan benar dan aman,” ucapnya.
Keempat, Otorita iKN juga akan membangun Pusat Daur Ulang Terpadu. Fasilitas daur ulang yang terintegrasi di IKN, yang tidak hanya menangani limbah PLTS tetapi e-waste lainnya.
Kelima, Ali Berawi meyakini keberhasilan pengelolaan limbah memerlukan partisipasi publik. Sehingga Otorita IKN merencanakan program edukasi mengenai cara menangani limbah energi surya, khususnya bagi pengguna PLTS atap dan manyarakat sekitar IKN.

Energi Hijau versus Fosil
Beyrra Triasdian, Manajer Program dan Pengampanye Energi Terbarukan di Trend Asia, mengatakan justru keliru isu limbah sebagai alasan untuk menolak PLTS. Menurutnya, publik harus bedakan mana pembangkit yang menyebabkan krisis iklim, dan mana yang jadi solusi.
Memang, panel surya memiliki masa pakai hingga tiga puluh tahun. Setelah itu, limbahnya harus dikelola. Beyrra menegaskan dampak limbah panel surya tidak sebanding dengan emisi karbon dan limbah beracun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbasis energi fosil.
“Kalau kita ngomongin limbah, harus jujur juga ngomongin emisi karbon dari PLTU yang merusak udara setiap hari. Itu lebih destruktif daripada potensi limbah PLTS yang baru akan muncul dua dekade lagi,” jelasnya saat dihubungi Mahakamdaily.com, Jumat (2/5/2025).
Bicara PLTU di Bumi Mulawarman, data dari PLN menyebutkan, pada 2018 Kaltim menerima pasokan listrik sebesar 944,8 megawatt. Dari angka itu, 339 megawatt disumbang oleh empat PLTU batu bara. Dua tahun berselang, jumlah PLTU meningkat drastis.
Berkaca data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), secara keseluruhan hingga April 2022 Indonesia memiliki sekitar 253 unit PLTU. Dari jumlah tersebut, PLTU terbanyak berada di Kalimantan Timur, yaitu sebanyak 26 unit.
Kenaikan tajam jumlah pembangkit dalam dua tahun itu mencerminkan ketergantungan yang kian dalam terhadap batu bara. Namun, di tengah komitmen nasional menuju net zero emission pada 2060, keberadaan PLTU menjadi pertanyaan besar. Transisinya bukan sekadar teknis, tapi juga politis dan sosial.
“Ketika PLTU berjalan itu butuh bahan bakar. Dan itu bukan sembarang bahan bakar. Itu batu bara—penyumbang emisi karbon terbesar yang bikin krisis iklim makin parah,” tegasya.
Di sisi lain PLTU, menurutnya tidak hanya meninggalkan limbah setelah beroperasi, tetapi juga terus-menerus menghasilkan limbah selama proses produksinya, mulai dari debu batu bara, emisi gas rumah kaca, hingga air limbah panas yang berdampak pada lingkungan sekitar.
“Kalau PLTU, selama dia berjalan, dia menghasilkan bukan cuma polusi, tapi debu-debu yang bikin orang sakit ISPA. Belum lagi air pendingin yang jadi air bahang, itu juga limbah,” pungkasnya.