Film SORE: Istri dari Masa Depan dan Teori Relativitas yang Diam‑Diam Romantis

Film SORE: Istri dari Masa Depan bukan sekadar romansa, tapi juga eksperimen imajinatif ala teori relativitas Einstein—tentang bagaimana keputusan di masa kini bisa membentuk masa depan, bahkan tanpa mesin waktu.

Ilustrasi ulasan Film SORE Istri dari Masa Depan

Foto : Ilustrasi ulasan Film SORE Istri dari Masa Depan

Ada satu nama yang lagi ramai dibicarakan di bioskop Indonesia: SORE: Istri dari Masa Depan. Rilis 10 Juli 2025, film ini bukan pendatang baru. Ia datang membawa nostalgia dari web series 2017 yang dulu bikin banyak orang senyum‑senyum sendiri di depan layar HP.

Sutradara Yandy Laurens kembali membawa kisah Jonathan dan Sore, tapi kali ini dengan layar lebar yang lebih lega dan visual yang lebih manja. Sheila Dara Aisha jadi Sore, menggantikan Tika Bravani, sedangkan Dion Wiyoko masih setia jadi Jonathan, fotografer yang hidupnya berantakan sampai tiba‑tiba didatangi “istri dari masa depan” yang ingin menyelamatkan kesehatannya—dan mungkin juga hatinya.

Lokasi syutingnya nggak main‑main. Selain di Indonesia, kamera dibawa sampai ke Kroasia—Grožnjan dan Zagreb—plus Finlandia buat adegan salju. Kalau nonton, siap‑siap dimanjakan panorama Eropa yang bikin mata adem.

Dalam sembilan hari, film ini sudah tembus lebih dari satu juta penonton. Sampai hari ke‑26 penayangan, jumlahnya makin spektakuler. “Waw! Sampai hari ke‑26 penayangan film SORE, 2.739.288 penonton sudah tau rahasia Jonathan. Terima kasih ya, teman‑teman. Titip jaga rahasia Jonathan yaa. Kalau kamu sampai sekarang belum tau rahasianya, yuk nonton film SORE ke bioskop hari ini!” tulis akun Instagram Cerita Film.

Kalau bicara film bertema “pasangan dari masa depan” atau “perjalanan waktu demi cinta,” SORE bisa duduk satu meja dengan About Time (2013), film arahan Richard Curtis yang menggabungkan romansa dan perjalanan waktu sebagai metafora hubungan (Curtis, About Time). Atau The Time Traveler’s Wife (2009), adaptasi novel Audrey Niffenegger yang mengulik cinta di tengah lompatan waktu tak terkendali (Niffenegger, The Time Traveler’s Wife). Bedanya, SORE menggarapnya dengan kearifan lokal: dialognya membumi, konfliknya dekat dengan keseharian, dan bumbunya nggak terlalu tebal.

Bahkan kalau mau ditarik ke drama Asia, SORE punya rasa yang sedikit mengingatkan pada Tomorrow I Will Date With Yesterday’s You (2016), film Jepang adaptasi novel Takafumi Nanatsuki tentang cinta di garis waktu terbalik (Nanatsuki, My Tomorrow, Your Yesterday). Atau drama Korea My Perfect Stranger (2023) yang memadukan misteri pembunuhan dan lompatan waktu (KBS, My Perfect Stranger). Semua sama‑sama menempatkan “waktu” sebagai bumbu yang membuat hubungan terasa manis sekaligus getir.

Secara ilmiah, ide “istri dari masa depan” mungkin bikin fisikawan geleng‑geleng. Tapi kalau mau dibawa ke teori, kisah ini main di konsep time travel linier ala teori blok alam semesta—di mana masa lalu, kini, dan masa depan berjalan sejajar (Petkov, Relativity and the Nature of Spacetime). Dalam kerangka ini, Sore datang bukan buat mengubah masa depan Jonathan secara drastis, tapi buat menyentil supaya keputusan di masa kini lebih sehat, baik untuk badan maupun hati.

Dalam fisika relativitas Einstein, perjalanan waktu ke masa depan memang memungkinkan lewat percepatan mendekati kecepatan cahaya atau efek gravitasi ekstrem (Einstein, The Foundation of the General Theory of Relativity). Sedangkan perjalanan ke masa lalu masih jadi misteri besar. Di film seperti SORE, semua teori itu disederhanakan jadi bahasa emosi: masa depan adalah konsekuensi dari keputusan hari ini (Tipler, Rotating Cylinders and the Possibility of Global Causality Violation).

Singkatnya, SORE bukan cuma cerita cinta manis. Ini juga soal berani berubah demi masa depan. Jadi, kalau lagi butuh tontonan romantis dengan bumbu fantasi tipis, SORE bisa jadi pilihan manis di akhir pekan.

Mahakam Daily – Kalimantan Timur, salah satu provinsi di Indonesia,