Mahakam Daily – Pernah nggak sih kamu duduk di depan layar, ngopi sambil scroll-scroll, terus tiba-tiba kepikiran: “Nanti aku kerja jadi apa, ya?” Kalau iya, kamu nggak sendirian.
Tahun 2025 ini kita hidup di tengah revolusi yang sunyi tapi nyata. Mesin makin pintar, algoritma makin gesit. Banyak kerjaan yang dulu dipegang manusia, sekarang di-handle sama program komputer. Kecerdasan buatan alias AI—yang dulu cuma eksis di film—sekarang udah jadi kolega kerja. Bahkan kadang lebih teliti dan cepat. Tapi tenang, itu bukan akhir cerita kita. Masih ada ruang buat manusia. Buat kamu.
Di Tengah Revolusi
Menurut World Economic Forum dalam laporan Future of Jobs 2023, otomatisasi memang telah menghapus jutaan pekerjaan—diperkirakan 83 juta pekerjaan akan terdampak. Tapi, seperti siang berganti malam, hilangnya yang satu memberi tempat bagi yang baru. Sebanyak 69 juta pekerjaan baru diperkirakan muncul, banyak di antaranya belum pernah kita bayangkan sepuluh tahun lalu. Dunia kerja menjadi seperti lautan pasang: tak bisa ditahan, tapi bisa dipelajari nadanya.
Lahirnya Profesi Baru
Di tengah derasnya gelombang itu, muncullah peran-peran yang dulu dianggap asing: insinyur machine learning, analis etika AI, kreator konten strategis, penata pengalaman pengguna digital. Mereka bukan sekadar tahu teknologi, tapi juga tahu bagaimana menyelaraskan teknologi dengan emosi manusia. Karena meskipun mesin bisa mengenali wajah, hanya manusia yang bisa mengenali rasa.
Indonesia dalam Pusaran Digitalisasi
Sementara itu, di Indonesia, denyut ekonomi digital makin kencang. Kementerian Kominfo memperkirakan ekonomi digital Tanah Air akan menembus USD 146 miliar pada 2025. Bukan hanya angka yang memukau, tapi juga tantangan yang menyertainya. Menurut laporan McKinsey & Company, negeri ini akan kekurangan lebih dari 300 ribu talenta digital hingga akhir dekade. Kita seperti duduk di kereta cepat, tapi belum semua tahu cara membaca peta jalurnya.
Dari Gelar ke Keterampilan
Namun tak semua harapan hilang. Microsoft, misalnya, telah mengumumkan investasi besar di Indonesia, bukan hanya membangun infrastruktur cloud dan AI, tapi juga berjanji melatih lebih dari 800 ribu orang agar tak tertinggal di era baru ini. Dunia kerja yang dulu menuntut ijazah kini mulai melirik keterampilan. Gelar tak lagi jadi benteng utama. Yang dicari adalah kemampuan belajar, kemampuan beradaptasi, dan kemampuan berpikir kritis—tiga hal yang masih terlalu manusiawi untuk digantikan robot.
Keresahan Generasi Kebingungan
Di sela-sela semua perubahan ini, ada satu hal yang tetap: keresahan. Terutama di kalangan anak muda. Apakah aku cukup berguna? Apakah pekerjaanku akan digantikan mesin? Haruskah aku belajar kode? Apakah mimpi seni dan sastra masih punya tempat di dunia yang dikendalikan oleh perintah baris?
Jawabannya, mungkin, adalah ya dan tidak sekaligus. Karena pekerjaan terbaik di 2025 bukan hanya yang berbau teknologi, tapi yang tahu caranya berpikir lintas bidang. Yang tahu bagaimana mengawinkan data dengan cerita. Yang bisa membangun empati dalam ruang digital. Yang mengerti bahwa AI bukan musuh, melainkan alat bantu—asal digunakan dengan bijak dan penuh tanggung jawab.
Meresapi Pekerjaan
Jadi, di tahun yang penuh lompatan ini, pekerjaan bukan sekadar soal gaji atau gelar. Ia tentang daya tahan, keingintahuan, dan kemampuan membaca perubahan. Di dunia yang terus bergerak, yang tak berubah adalah mereka yang tak mau belajar.
Kita masih punya waktu. Masih bisa belajar, mengubah arah, atau menciptakan peran baru. Karena masa depan bukan hanya untuk mereka yang paling pintar, tapi untuk mereka yang paling siap. Dan di antara manusia dan mesin, masih ada ruang luas bernama kemungkinan.