Mahakam Daily – Konflik batas wilayah antara Kota Bontang, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) kembali menjadi sorotan publik. Persoalan yang berlarut-larut sejak penetapan batas dalam Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2005 ini kini memasuki babak baru melalui proses Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua DPRD Kalimantan Timur, Hasanuddin Mas’ud, menilai penyelesaian konflik ini tidak bisa semata berbasis peta administratif. Ia menegaskan, pendekatan sosial dan ekonomi masyarakat yang terdampak, khususnya di Dusun Sidrap, harus menjadi pertimbangan utama. Menurutnya, masyarakat di kawasan tersebut lebih banyak bergantung pada Kota Bontang dalam hal pelayanan publik, meski secara hukum wilayah itu masuk Kutai Timur.
“Jarak tempuh menjadi alasan utama masyarakat Sidrap lebih memilih Bontang untuk mengakses fasilitas publik mereka. Verifikasi lapangan akan memberikan gambaran utuh sebelum MK memutuskan secara final,” ujar Hasanuddin.
Pernyataan itu mempertegas posisi DPRD Kaltim yang ingin memastikan penyelesaian tidak hanya adil di atas kertas, tapi juga berpihak pada kebutuhan warga. DPRD mendorong pemerintah provinsi untuk kembali memfasilitasi mediasi antara pihak-pihak terkait dengan melibatkan kementerian teknis, termasuk ATR/BPN dan Kementerian Dalam Negeri.
Sengketa batas wilayah Sidrap sendiri telah memicu tarik-menarik kewenangan pembangunan dan pelayanan publik selama hampir dua dekade. Di tengah ketegangan itu, DPRD Kaltim berperan penting sebagai penyeimbang antara hukum dan kemanusiaan.
“Yang terpenting adalah memastikan masyarakat tidak menjadi korban dari tarik-menarik kepentingan. Kita harus cari solusi yang berpihak pada warga,” tegas Hasanuddin.
(adv/dprdkaltim)