Ormas dan Tokoh Kaltim Tuntut Pemerintah Pusat Jangan Pangkas Dana Bagi Hasil

Ratusan warga Kalimantan Timur turun ke jalan menolak pemangkasan dana bagi hasil. Mereka menuntut keadilan fiskal dari pemerintah pusat—karena daerah penghasil mestinya tak perlu merasa dianaktirikan

Aksi protes menolak pemangkasan Dana Bagi Hasil di depan Teras Samarinda, tepat berhadapan dengan Kantor Gubernur Kaltim.

Foto : Aksi protes menolak pemangkasan Dana Bagi Hasil di depan Teras Samarinda, tepat berhadapan dengan Kantor Gubernur Kaltim.

Mahakam Daily – Di bawah terik matahari Samarinda, ratusan orang berjejer di Teras Samarinda sambil membentangkan spanduk bertuliskan “Kalimantan Timur Bukan Tanah Kosong, Ada Kami Penghuninya.” Aksi damai itu digelar Senin (10/11/2025) oleh Forum Aksi Rakyat Kaltim untuk menolak wacana pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat. Mereka menuntut keadilan fiskal—karena kalau Kaltim sudah menyetor banyak ke kas negara, ya sudah semestinya dapat bagian yang pantas.

Ketua Presidium Forum, Vendy Meru, yang juga menjabat Ketua Umum Laskar Pemuda Adat Dayak Kaltim, mengatakan bahwa aksi ini bukan yang pertama. Mereka sudah pernah menyurati pemerintah dan memberi tenggat dua minggu untuk merespons.

“Seharusnya kita sudah dapat respon karena kita sudah berikan deadline 14 hari tetapi sampai hari ini belum ada jawaban,” ujarnya, dengan nada yang lebih kecewa daripada marah.

Kaltim, kata Vendy, adalah penyumbang devisa tertinggi di Indonesia. PDRB-nya tahun 2024 tembus Rp858 triliun. Tapi coba lihat jalan dan jembatan di banyak daerah—masih bolong-bolong dan jauh dari kata layak.

“Perlakuan seperti ini tidak adil bagi masyarakat Kaltim,” tegasnya.

Senada, Ketua Adat Dayak Kaltim, Viktor Yuan, menilai pemangkasan DBH ini seperti menampar wajah daerah penghasil. Ia menegaskan jika pemerintah pusat terus bungkam, mereka siap mengambil langkah ekstrem: menutup akses batubara di Sungai Mahakam. Tuntutannya sederhana—bukan minta lebih, tapi minta adil.

“Kaltim ini daerah penyumbang devisa tertinggi di Indonesia, tapi justru terasa dianaktirikan di rumah sendiri,” tegasnya.